Air matanya menetes satu-satu. Mata yang semula hanya berkaca-kaca,
angin dermaga memecahnya perlahan. Pilu. Yang tanpa sadar menghambur keluar
dari bilik jantungnya, menindas paksa kebahagiaan yang harusnya ditampakkan
jelas. Perpisahan.
Apakah dia
melekatkan gigi-giginya? Atau mengerutkan dahinya? Untuk apa seperti itu?
Dimana air matanya
akan berlabuh jika kita tak mampu mengeram bertahan?
“Tenang. Kita
masih bertemu. Lagi”, kataku menguatkan tatapan dalam petang yang menjemputnya
pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar