Ah, masih saja aku menghela nafas
dalam-dalam sembari menatap buih-buih hasil ketikan tadi. Sejak saat itu,
ucapanku ku simpan rapi di dalam memori. Seakan tak percaya, bertanya sekuat
apa aku bisa mengeluarkannya. Sebenarnya saja aku ingin biasa, fikirku, tak
perlulah sefrontal itu. Meluap-luap, tumpah seperti air yang dipaksa memadat.
“Melupakan itu dengan cara tidak
menemui apa yang membuat mu ingat”. Kalimat terakhir dari salah satu buku yang
aku sewa dari partner curhatku, yang masih saja aku ingat sampai saat ini. Entah, kalimat itu seperti di tuliskan untuk keadaan ku, terasa pas dan
tergugah untuk segera mengaplikasikannya, tanpa tahu seberapa besar nyaliku.
Kemudian aku sempurnakan dengan menghapus kombinasi angka-angka dari ponselku, dan ku kirim perintah konyol itu kepadanya.
Kembali bertekad, dan menegaskan mungkin saja itu yang terbaik. Selebihnya
untuk yang disana.
“Aku baru tahu rasanya. Ini
seperti menyelam tanpa alat bantu pernapasan. Sampailah aku di daerah abysal,
tetapi nafasku tak lagi terdengar”. Berusaha lirih berbisik pada langit malam itu, agar tidak sampai terbawa angin lalu terdengar
kerapuhanku. Kalau-kalau itu terjadi, malu lah aku.
-----*****-----
Aku belum siap, sangat belum siap hari ini. Yang akhirnya membawa ku duduk terpaku dalam bisu. Aku
menikmati, kecuali hatinya yang memberikan sebentuk keajaiban bernama perasaan.
Hanya saja aku tidak mampu untuk mengulangnya. Berdiri, tertawa geli dalam
kegelisahan. Yang membalikkan ku pada relung terdalam. Tetapi, semakin kuat aku
berkeinginan, semakin lemah untuk tidak melangkah.
Belum
sempat mengatakan, aku bergurau. Kepadanya dan kepadaku. Tidakkah Ia teliti
sebelumnya. Aku berbohong. Jika ku ambil ranting dari dahan yang rapuh, niscaya
Ia akan tahu kerapuhanku. Namun, Ia tetap saja berbalik dan dikirimkannya sebuah kalimat senada selamat tinggal. Ia
teruskan sekat-sekat yang ku bangun dengan kebodohan. Hadir layaknya siluet
yang hilang dari cahaya temaram. Aku tidak mengukirnya di atas pasir yang
hilang seketika karena ombak, tetapi dengan tetesan air yang perlahan di atas
batu karang. Ada lah itu sebuah kesakitan, penegasan, dalam sudut-sudut perjalanan.
-----*****-----
Jangan, jangan mencoba mengirim
apapun. Aku rasa aku benar. Tentu Ia akan pahami sendiri apa yang telah Ia
ucapkan sebelumnya. “Kalaulah kita memang bersanding untuk satu sama lain,
kelak kan terungkap juga”. Lebih kurang begitu artinya. Aku harus percaya, dan tidak perlu bergulat dengan setiap perubahan hati,
karena tidak hanya dari kalimatnya aku mendengar, banyak dari yang lain yang
telah menguraikan dan hal itu benar. Maka untuk apa aku selalu gelisah
menghapus angka-angka nya dari ku. "Meninggalkan bukan berarti melupakan". Berusaha saja, dan aku juga.Nanti, seberapa besar arti akan segera diketahui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar